BERSYUKUR
RABU, 26 FEBRUARI 2020
Sebelum
melanjutkan tulisan ini panjang lebar, saya akan bertanya kepada kita sekalian,
sudahkah kita bersyukur hari ini, kemarin dan yang lalu-lalu ? Pertanyaan ini
yang paling mendasar yang kembali mengingatkan kita bahwa segala sesuatunya itu
perlu disyukuri. Bagi yang sudah bersyukur, pertama-tama apa yang kita rasakan
? Bagaimana ekpresi kita, kebatinan kita ? Bandingkan sebelum kita bersyukur,
apa perbedaannya ? Tentu perbedaan tersebut akan dirasakan bagi orang-orang
yang dengan segenap hatinya mau bersyukur tanpa adanya suatu paksaan. Berikutnya,saya
menuju kepada kita yang belum bersyukur atau belum sempat bersyukur. Apa yang kita
rasakan ? Selalu merasa tidak puas ? Selalu merasa seperti ada yang kurang ? Stress kah ? Oke, itu adalah suatu hal
yang wajar karena manusia diciptakan memiliki kehendak bebas. Dengan kehendak
bebas itulah manusia hendak menentukan ke arah mana ia akan membawa jiwanya
serta dirinya. Namun, apakah wajar jika kita seringkali menghakimi diri sendiri
bila diri kita tidak mampu mencapai suatu prestasi ? Apakah wajar menyalahkan
sepenuhnya kepada diri kita ? Seolah-olah tidak ada potensi yang dapat kita
kembangkan. Apakah kita lupa bahwa setiap manusia memiliki kemampuannya
masing-masing hanya saja kita terlalu sibuk membanding-bandingkan diri kita
terhadap orang lain.
Baiklah, coba bayangkan di pikiran kita
mengenai berbagai jenis manusia dengan profesinya ataupun pekerjaannya. Mulai
dari sang Direktur atau pimpinan di kantornya, pegawai negeri biasa di
pemerintahan, karyawan swasta, pekerja serabutan, penarik becak, pedagang kaki
lima hingga seorang pemulung di jalanan juga beberapa anak kecil yang
berkeliaran di sekitaran jalan yang seharusnya dipakai untuk jam belajar, tapi
karena tuntutan ekonomi terpaksa harus meminta-minta di jalan demi kebutuhan
hidupnya. Coba kita bayangkan semuanya itu lebih dalam satu per satu. Saya tidak
akan melangkah ke tulisan selanjutnya jika kita belum membayangkannya.
Bayangkan jika kita berada di semua posisi itu, bayangkan secara bergantian.
Mulai dari bagaimana rasanya jika kita menjadi seorang Pimpinan atau Bos hingga
bagaimana rasanya jika kita berada di posisi anak jalanan tadi. Pasti ada
kekhawatiran yang timbul dalam diri kita. Hidup itu ibarat roda. Beruntung bagi
kita yang terlahir istimewa yang dalam
artian kita berasal dari keluarga yang cukup atau bahkan berkelimpahan.
Sedangkan jika kita yang terlahir miskin, harus benar-benar bekerja keras untuk
menunjang hidup kita. Namun, kembali lagi bagaimana cara kita ingin berjuang
mempertahankan hidup ini. Saya teringat kata-kata dari Bill Gates yang
mengatakan demikian “Terlahir miskin itu bukan
salah kamu, tetapi mati dalam keadaan miskin, itu sudah pasti salah kamu”
kurang lebih Bill Gates mengatakan demikian, koreksi bila saya salah. Tidak
nyambung dengan topik ? benar. Itu hanya
selingan saja yang menurut saya memang masih ada sangkut pautnya dengan
bersyukur. Kita terlahir miskin ya bersyukur atau kita terlahir kaya pun harus
bersyukur. Jika saya kaitkan dengan perkataan Bill Gates tadi, bila kita
terlahir dalam keadaan apapun jangan lupa untuk bersyukur tapi ingat jangan
lupa ‘dibarengi’ dengan suatu niat yang baik yang akan membawa kita kepada
suatu perubahan yang membuat kita menjadi sejahtera. Khususnya bagi kita yang
terlahir miskin. Yang terlahir kaya pun demikian, bila hanya mengandalkan
pendapatan orang tua, mau bisa apa kita bila orang tua sudah tidak ada. Harta
itu adalah benda yang mau tidak mau pasti akan habis atau lenyap. Atau di
kemudian hari bisa saja dipindahtangankan kepada pihak yang berwajib.
Tidak jarang di antara kita yang
kurang mensyukuri atau bahkan tidak mensyukuri berbagai macam hal yang
diperolehnya. Selalu saja merasa kekurangan, baik posisinya sebagai seorang
pimpinan atau bos yang kurang mensyukuri bahwa kinerja karyawannya masih kurang
padahal pencapaiannya telah terpenuhi. Selalu ingin melebihi target. Itu memang
pemikiran yang bagus. Tapi karena cita-cita yang berlebih itu kita jadi lupa
bersyukur bahwa kita telah mencapai apa yang seharusnya. Selalu ada rasa
ketidak-puasan dalam diri. Tapi beda halnya pada suatu ketika saya melihat
seorang pemulung di jalan yang bisa dibilang jauh bedalah keadaannya dengan
para pimpinan di kantor, pemulung itu menyempatkan diri untuk tersenyum. Saya
berpapasan di sampingnya lantas pemulung itu tersenyum ramah pada saya.
Bayangkan, jika melihat dari tampilannya saja sudah pasti ia hidup pas-pasan
atau bahkan berkekurangan tetapi dari senyuman itu saya dapat melihat bahwa
pemulung tersebut menikmati hidupnya. Saya akan menceritakan sedikit pengalaman
saya, kebetulan hari ini pas dengan hari Rabu Abu, hari yang sakral bagi umat
Katolik di mana pada hari Rabu Abu ditandai sebagai awal berpuasa 40 hari bagi
umat Katolik yang akan merayakan Paskah. Dalam perjalanan dari rumah menuju
kantor, tepat di lampu merah persimpangan jalan, sepasang anak laki-laki dan
perempuan dengan pakaian yang sobek-sobek dengan keadaan yang usang duduk di
atas trotoar di samping saya. Kemudian saya memandangi anak itu lama dan dalam.
Mata saya lalu berkaca-kaca melihat kondisi anak itu yang seolah menampar saya
di dalam hati. Saya tersadar selama ini saya kurang bersyukur. Selalu mengeluh
akan kondisi saya yang hidup dalam kondisi yang berkecukupan bila dibandingkan
dengan anak itu tadi. Selalu ada rasa tidak puas dari dalam diri saya. Padahal
jika saya merenung lebih dalam ada banyak orang di luar sana yang kelaparan dan
bahkan belum pernah merasakan kehidupan yang lebih sejahtera atau kehidupan
yang lebih layak. Padahal juga jika saya renungkan lagi, kebutuhan hidup saya
masih terpenuhi sedikit-sedikit dengan mengandalkan penghasilan orang tua saya.
Saya sangat terpukul membayangkan kehidupan anak itu. Usia yang seharusnya
mendapatkan pendidikan di bangku sekolah dasar, tapi karena kerasnya hidup, ia
terpaksa mohon maaf jadi pengemis di persimpangan jalan. Saya berterima kasih
kepada anak itu yang mengingatkan dan menyadarkan saya bahwa apa artinya
bersyukur. Sepanjang hari saya terus membayangkan kejadian itu, sembari saya
merefleksi diri. Peristiwa itu sungguh mengetuk hati saya. Sejak saat itu saya
akan berusaha untuk tidak mengeluh dalam keadaan apapun melainkan saya harus
mensyukuri apapun yang terjadi pada saya.
Akhir kata, sejak peristiwa itu saya
berusaha untuk berbenah diri dari yang tadinya selalu mengeluh saya berusaha
untuk selalu bersyukur atas apa yang terjadi. Bersyukur juga memberikan dampak
yang positif bagi diri kita dan saya percaya itu. Dan tentunya saya mengajak
kita sekalian marilah sering-sering bersyukur, luangkan waktu sejenak untuk merefleksikan
hidup kita, apakah kita sudah bersyukur hari ini ? Sekian. Terima kasih.